Selasa, 22 Februari 2011

Ketika Gelombang Revolusi Menjalar

Kairo: Perjuangan rakyat Mesir akhirnya berbuah manis. Setelah melancarkan gelombang protes selama 18 hari yang diwarnai bentrokan berdarah, tuntutan para demonstran dan warga Mesir akhirnya tercapai. Jumat selepas petang, Wakil Presiden Omar Suleiman mengumumkan pengunduran diri Presiden Hosni Mubarak.

Suleiman mengungkapkan pula, untuk sementara waktu pihak militer yang akan mengatur negara, mengingat pengganti Mubarak masih belum ditentukan. Boleh dibilang, Mubarak yang berkuasa selama 30 tahun mengundurkan diri akibat banyak mendapatkan tekanan dari dalam maupun luar negeri.

Militer pun bergerak cepat. Setelah menerima kekuasaan dari Presiden Mubarak, Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata segera membubarkan kabinet pimpinan Perdana Menteri Ahmed Shafiq yang ditunjuk oleh Presiden Mubarak dua pekan lalu menyusul pengunduran diri kabinet pimpinan PM Ahmed Nazif pada 28 Januari silam. Selain pembubaran kabinet, Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata juga menangguhkan parlemen.

Perubahan dari menit ke menit memang sangat terasa di Mesir. Terutama di alun-alun Tahrir, pusat demonstrasi di jantung ibu kota Mesir, Kairo. Bahkan, pada Jumat pekan kedua Februari atau menjelang Mubarak lengser, jumlah pengunjuk rasa mencapai rekor yang cukup spektakuler. Tak kurang dari sejuta pengunjuk rasa berkumpul di alun-alun Tahrir. Bahkan, seantero Mesir tercatat ada sekitar 20 juta demonstran. Tuntutan mereka bulat: Mubarak harus mundur.

Dan, begitu mendengar Mubarak lengser, rakyat Mesir pun tak bisa membendung kebahagiaan. Gema takbir bersahutan membahana di hampir penjuru Kairo. Suara klakson juga terus dibunyikan para pengguna jalan sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan rakyat Mesir menggulingkan rezim Mubarak. Kondisi hampir serupa terlihat di berbagai kota maupun wilayah Negeri Piramida.

Bahkan, suara tembakan terdengar beberapa kali. "Tembakan itu sebagai ungkapan rasa syukur," kata Duta Besar Indonesia di Mesir, A.M. Fachir. Fachir menambahkan, ungkapan kebahagiaan rakyat Negeri Pharaoh ini terlihat dalam siaran di televisi lokal maupun internasional.

Euforia itu tak hanya dirasakan rakyat. Sejumlah tentara Mesir yang bertugas menjaga keamanan di alun-alun Tahrir, Kota Kairo, sujud syukur begitu mendengar pengumuman Presiden Mubarak mengundurkan diri. "Alhamdulillah," kata seorang tentara setelah sujud syukur.

Militer Mesir, yang dalam tiga pekan terakhir mengerahkan tank-tank tempur di Kairo dan sejumlah provinsi, mengambil alih pelaksanaan keamanan dari kepolisian. Sejak 28 Januari silam, polisi menghilang akibat terkalahkan oleh gelombang unjuk rasa.

Wakil Presiden Omar Suleiman mengumumkan pengunduran diri tersebut setelah beberapa jam sebelumnya Presiden Mubarak dan keluarganya dikabarkan meninggalkan ibu kota ke Sharm El-Shaikh, kota wisata pesisir Laut Merah--500 kilometer arah timur Kairo.

Memang, perubahan iklim politik di Mesir dalam 24 jam terakhir begitu cepat. Sehari sebelumnya, Mubarak menyampaikan pidato--yang semula diduga kuat akan mengumumkan pengunduran diri--tapi ternyata dalam pidatonya menyatakan tidak mundur. Militer juga dalam 24 terakhir telah dua kali mengumumkan Hasil Keputusan Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata yang menyatakan akan tetap memelihara keamanan negara.

Jumatut Tarhil

Gelombang protes rakyat Mesir bukan tanpa tumbal. Pada 28 Januari silam, unjuk rasa akbar yang disebut "Jumatul Ghadhab" (Revolusi Jumat) menewaskan lebih dari 100 orang akibat terlibat bentrok hebat dengan polisi. "Revolusi Jumat" itu berlanjut hingga pekan ketiga pada Jumat atau 11 Februari ini. Para pengunjuk rasa pun mengubah yel-yel, yakni "Jumatut Tarhil" (Jumat Perginya Mubarak).

Banyak pengamat mengatakan, Mubarak bertahan di kekuasaan hingga 30 tahun sejak 1981 itu akibat mendapat dukungan kuat dari militer. Mubarak dalam pidatonya pada Kamis malam silam menyatakan tidak mundur, namun menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden Omar Suleiman--mantan kepala intelijen--dan mengajukan amendemen konstitusi.

Kendati diprotes pengunjuk rasa, Dewan Tertinggi Militer sempat menyatakan mendukung pengalihan kekuasaan Presiden Mubarak kepada Wapres Suleiman tersebut. Dalam taklimatnya, mliter menjanjikan pemilihan umum bebas, namun belum menentukan tanggal pastinya.

Beberapa jam sebelum taklimat pengunduran diri, Presiden Mubarak bersama keluarganya dikabarkan telah meninggalkan ibu kota Mesir, Kairo, menuju Sharm el-Sheikh (500 kilometer arah timur Kairo). Rakyat pun menyambut gegap gempita atas pengunduran diri Mubarak tersebut.



Tanggapan Dunia


Langkah Presiden Mubarak mundur dari jabatannya mendapat sambutan dari berbagai pemimpin dunia, salah satunya Amerika Serikat. Wakil Presiden AS Joe Biden menyatakan, mundurnya Mubarak sebagai momen penting bagi Mesir maupun kawasan Timur Tengah.

Juru bicara Hamas, Sami Abu Zuhri juga menyambut gembira kemenangan rakyat Mesir atas runtuhnya rezim Mubarak yang menjadi awal kemenangan Revolusi Mesir. Zuhri pun menyatakan harapan rakyat Palestina agar blokade terhadap wilayah Gaza dapat segera diakhiri.

Sekretaris Jenderal Liga Arab yang juga warga Mesir, Amr Moussa menyatakan berharap keberhasilan Revolusi Mesir dapat membangun konsensus nasional dalam periode mendatang. Saat ini, menurut dia, kesempatan besar dan jendela telah terbuka usai revolusi putih yang berhasil menurunkan Hosni Mubarak dari tampuk kekuasaan.

Adapun Israel menyambut dingin mundurnya Presiden Mubarak. Seorang pejabat senior Israel yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan terlalu dini memprediksi dampak pengunduran diri ini. "Kami harap bahwa perubahan ke arah demokrasi di Mesir akan terjadi tanpa kekerasan dan kesepakatan damai dengan Israel tetap dipertahankan," kata pejabat senior tersebut.

Sebelum Mubarak lengser, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad memberi peringatan kepada warga Mesir untuk berhati-hati dalam memilih pemimpin. Revolusi Mesir merupakan sebuah ukuran baru di Timur Tengah, membebaskan Mesir dari dari Amerika Serikat dan Israel.

Ahmadinejad menyatakan dukungannya terhadap pemberontakan yang telah menggoyang dunia Arab itu. "Kami akan segera melihat mewujudkan Timur Tengah baru tanpa Amerika dan rezim Zionis. Kami juta mengharapkan tidak akan ada ruang untuk arogansi dunia (Barat) di dalamnya," kata Ahmadinejad.

Lain lagi pandangan pemimpin spiritual Iran Ayatullah Ali Khamenei. Ia menilai gerakan rakyat yang terjadi di Mesir dan Tunisia adalah gerakan pembebasan Islam yang sama seperti Revolusi Islam Iran yang terjadi pada 1979.

Awal Mula Revolusi Mesir

Ahmadinejad dan Khamenei boleh berpandangan seperti itu. Yang terang, gelombang protes rakyat Mesir dimulai sejak 25 Januari silam. Saat itu massa dari berbagai suku dan agama berunjuk rasa. Satu suara mereka menuntut Presiden Mesir Hosni Mubarak, yang dituding bermental diktator, mundur dari jabatan. Tuntutan lengser juga diarahkan kepada Perdana Menteri Ahmed Nazif, pembubaran parlemen dan pembentukan pemerintahan nasional.

Selanjutnya, massa di berbagai kota di Mesir turun ke jalan dan berpusat di Tahrir Square, Kairo. Demonstrasi besar-besaran ini didasari ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Mubarak selama 30 tahun. Pria yang pernah menjabat Komandan Angkatan Udara itu menggantikan Anwar Sadat yang tewas diserang sekelompok tentara ekstrem pada 6 Oktober 1981. Namun, korupsi merajalela, angka kemiskinan makin tinggi, dan inflasi harga pangan menjadi rapor merah Mubarak yang tak termaafkan.

Tercatat sekitar 20 persen dari kurang lebih 80 juta jiwa penduduk Mesir, hidup di bawah garis kemiskinan. Dan dalam dua tahun terakhir meningkat menjadi 23,4 persen. Kelompok oposisi lantas menuduh Mubarak gagal memenuhi janji pada kampanye pemilu 2005. Karena Mubarak menggembar-gemborkan kesanggupannya memberi lapangan kerja dan menekan angka pengangguran.

Penggalangan massa pun disebar melalui situs jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook. Satu sama lain meminta agar karyawan berhenti bekerja dan mahasiswa libur dari aktivitas perkuliahan. Semua kalangan bersatu berjuang hingga tuntutan dipenuhi. "Mungkin kami akan kehilangan energi selama satu bulan ini, tapi kami akan mendapat kebebasan dalam sisa hidup kami," kata Sharif Mohammed, seorang demonstran.

Ahmed Abdel Moneim, seorang mahasiswa, berhari-hari berkemah di lapangan Tahrir. Diselimuti rasa letih, semangat pemuda berusia 22 tahun itu bersama rekan-rekan yang lain tak sirna. Mereka berjibaku melawan hadangan tentara militer dan massa pro-Hosni Mubarak.

Tumbal Revolusi


Unjuk rasa Moneim dan kawan-kawan harus dibayar mahal. Banyak nyawa melayang dalam bentrokan dua pekan silam itu. Jumlahnya pun simpang siur. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan 300 orang tewas, sedangkan Kementerian Kesehatan Mesir menyebut 11 orang meninggal dan lima ribu lainnya cedera. Ada pula yang menyebut 109 jiwa melayang.

Seiring memanasnya unjuk rasa yang menuntut rezim sang diktator berakhir, Mubarak bergeming. Presiden ke-4 Mesir itu menyatakan tak akan mundur hingga pemilu baru dimulai September mendatang. Dan pria yang menjabat Presiden sejak 14 Oktober 1981 itu berjanji tak akan mencalonkan diri lagi.

Selanjutnya untuk pertama kali sepanjang sejarah, Mubarak mengangkat Omar Suleiman sebagai wakil presiden. Beberapa hari setelah diangkat, Omar mengadakan perundingan dengan kelompok oposisi, termasuk Ikhwanul Muslimin, 6 Februari silam. Sayang hasil perundingan dengan pemerintah berjalan buntu. Pemerintah menolak tuntutan oposisi.

Sementara Amerika Serikat, notabene sekutu Mesir malah mendukung aksi massa pro-demokrasi. Sikap ini sempat dituding sebagai bentuk pengkhianatan. Namun AS tidak secara tegas mendesak agar Mubarak mundur. Presiden AS Barrack Obama mengatakan, Mubarak mengetahui apa yang akan dilakukan.

Revolusi Melati di Tunisia

Gerakan revolusi di Mesir, akhirnya semulus yang dicapai rakyat Tunisia melalui Revolusi Melati. Kemarahan warga Tunisia membuat gerah Presiden Zein Abidin Ben Ali yang akhirnya kabur ke Arab Saudi, 14 Januari silam bersama keluarga. Massa muak terhadap kediktatoran Ben Ali yang sudah berlangsung sejak 1987 menggantikan diktator sebelumnya, Ben Bella. Sang presiden yang 23 tahun berkuasa itu kabur saat Tunisia dilanda krisis ekonomi.

Tak tinggal diam, pemerintah sementara Tunisia mengeluarkan surat penangkapan internasional terhadap Ben Ali. Pria kelahiran 3 September 1936 itu dituduh melarikan aset-aset negara. Menteri Kehakiman Lazhar Karoui Chebbi juga menuding Presiden kedua Tunisia itu memiliki aset properti di Tunisia dan di luar negeri secara tidak sah. Majelis Konstitusi Demokratik (RCD), partai yang menjadi kendaraan Ben Ali pun dibekukan.

"Virus Revolusi"

Ibarat penyakit, "virus revolusi" itu pun menular ke negara Arab lain, yakni Yaman dan Aljazair. Rakyat di kedua negara menghendaki reformasi. Kalangan oposisi di Aljazair menilai, pemerintah yang dipimpin Presiden Abdelaziz Bouteflika gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat. Padahal negara itu mendapat penghasilan besar dari industri energi.

Sempat terjadi bentrok antara massa dan aparat keamanan di Aljir, Aljazair, 22 Januari silam. Dan seperti yang direncanakan 12 Februari akan digelar demo serupa. Mereka menuntut Undang-undang Darurat dicabut yang berlaku sejak 19 tahun. Rakyat juga menuntut reformasi politik dan perbaikan ekonomi.

Unjuk rasa di Tunisia menginspirasi pula rakyat Yordania. Pada 21 Januari silam, lebih dari lima ribu warga turun ke jalan di Amman dan sejumlah kota lain. Mereka protes kenaikan harga dan pengangguran. Mereka menuntut Perdana Menteri Samir Rifai lengser. Meski dijanjikan akan mengucurkan US$ 125 juta untuk menurunkan harga barang, demo tetap jalan. Ini adalah aksi terbesar dalam sejarah Yordania.

Demonstrasi serupa digelar di Yaman. Sekitar 2.500 pengunjuk rasa Yaman mendesak Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, yang telah berkuasa lebih dari tiga dekade, untuk turun dari jabatan. Massa menolak gagasan reformasi politik yang disampaikan pemerintah. Mereka juga tak terima kebijakan membatasi masa jabatan presiden. Negara berpenduduk sekitar 23 juta jiwa itu selama ini tercatat sebagai salah satu negara termiskin di kawasan Arab.

Soal "virus revolusi", John McManus, ahli sejarah milter di Missouri University of Science and Technology di Rola, AS, punya pandangan. "Pelajaran yang dapat ditarik dari sejarah adalah Anda tak bisa menebak bagaimana sebuah revolusi berkembang? Dan, inilah yang membuatnya menakutkan. Kendati gelombang revolusi seperti ini memang telah muncul lebih dari 200 tahun lampau.(ANS/dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar